- Back to Home »
- betawi , catatan harian , guru mansyur , Jakarta , merdeka , pejuang , sejarah , travel , wisata »
- Masjid Al Mansyur: Aksi Nekat di Atas Menara Demi Kemerdekaan
Posted by : Yulian Ma'mun
22 Nov 2015
![]() |
Masjid Al Mansyur dengan menara yang jadi saksi sejarah |
Dengan lihai saya
memiringkan badan ke kanan ke kiri. Pinggul pun kadang saya putar beberapa
puluh derajat agar bisa berkelit di antara gerombolan manusia yang lalu lalang.
Tak ketinggalan kerap kaki saya angkat sebelah guna hindari lindasan ban sepeda
motor yang tak punya mata itu.
Kawasan Pasar Mitra di
Jembatan Lima, Jakarta Barat ramai seperti biasanya. Sore ini, beberapa
pedagang kaki lima sudah mulai menggelar lapaknya, makin menambah kusut kondisi
jalan. Barisan mobil merayap pelan, mengular hampir satu kilometer panjangnya.
Asap dari knalpot
mengapung di udara membawa jutaan partikel karbon dan timbal. Zat berbahaya ini
kemudian masuk ke paru-paru dan membonceng darah ke setiap urat tubuh. Efek
buruknya memang tidak langsung terasa, tapi beberapa tahun kemudian jika asap
itu rutin masuk ke badan akan menurunkan daya tahan tubuh hingga kualitas
sperma!
Ibu-ibu di dalam angkot
warna biru muda tak peduli. Semua sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri
sambil mendekap sayuran yang menyembul dari kantong plastik warna hitam.
Sedangkan ibu-ibu yang lain duduk cekikikan di dalam mobil berpendingin udara
sambil gesit menekan layar telepon genggam. Tampaknya ada percakapan seru
dengan orang di seberang sana.
Lain lagi dengan para pengendara
motor yang melaju lincah mencari celah untuk lolos dari kepadatan ini. Karena
gaya mengemudinya yang sembrono, kendaaran beroda dua ini sering menyerempet
mobil pick-up yang sedang mengisi muatan di pinggir jalan. Maka, keluarlah
sumpah serapah dari sopir pick-up. Empunya motor tak peduli, dengan santai ia
melenggang seakan tak terjadi apa-apa.
Hampir saja saya limbung
di tengah kesemrawutan ini. Untung bau khas sayuran yang bertumpuk-tumpuk di
pelataran toko membawa aroma segar. Kontras dengan kondisi jalan yang sumpek.
Yang paling saya suka adalah bau bayam dan sawi yang diikat rapi dijejer
sedemikan rupa. Bongkahan tanah pun masih sedikit menempel di akarnya. Pasar ini
memang salah satu pusat sayur-mayur di Jakarta. Sayuran yang didatangkan dari
perkebunan di sekitar Jakarta menampilkan semarak warna-warni. Hijaunya sawi,
merahnya cabe dan tomat, putihnya bongkahan kubis, sampai ungunya terong.
Di keramaian yang riuh
rendah itu berdiri Masjid Jami Al Mansyur. Terletak di Jalan Sawah Lio, agak
tersembunyi dari jalan raya. Masjid ini hampir tidak punya pekarangan lagi
kecuali sepetak di bagian samping. Itupun sebagian besar dipakai sebagai
pemakaman, saung peristirahatan dan kebun tanaman obat.
Apa istimewanya masjid ini
hingga saya rela menyusuri kawasan padat Jembatan Lima? Menurut sejarah pada
tahun 1186 H/1772 M Syekh Arsyad Al Banjari, ulama besar dari kampung halaman
saya Kalimantan Selatan membetulkan kiblat masjid ini. Syekh Arsyad memutar
kiblat sekitar 25 derajat ke arah kanan. Jadi sebagai bentuk penghormatan
kepada syekh Arsyad, saya mencoba menapak tilas peninggalan beliau. Selain
masjid ini, dulu beliau juga membetulkan kiblat masjid Pekojan dan masjid Luar
Batang.
Dan terbukti saya lihat
arah kiblat di masjid ini agak mencong ke kanan, tidak mengikuti arah bangunan.
Kondisi kiblat yang miring ini mirip Masjid Cut Meutia yang bekas kantor
Belanda di Jakarta Pusat.
Gaya klasik begitu terasa dengan
penggunaan kayu berornamen. Arsitektur unik yang paling mencolok adalah 4 tiang
soko guru yang masih dipertahankan sesuai bentuk aslinya. Saat saya tiba,
pengurus masjid sedang bercakap-cakap dengan peneliti dari Eropa. Masjid ini
rupanya memiliki daya tarik bagi sejarahwan dari luar negeri.
![]() |
Tiang soko guru dan kiblat yang miring |
Masjid ini dulunya bernama
Masjid Jami Kampung Sawah yang didirikan tahun 1130H/1717M, atas prakarsa Abdul Malik putera dari
Pangeran Cakrajaya Adiningrat dari Jayakarta. Beliau
dijuluki Tumenggung Mataram karena punya pengaruh pada Kesultanan Mataram saat bersama
menggalang kekuatan melawan penjajah.
Perubahan nama menjadi Al
Mansyur, terjadi pasca kemerdekaan Indonesia untuk menghormati salah satu ulama
sekaligus pejuang dari Jembatan Lima. Beliau adalah KH Muhammad Mansyur atau
biasa disebut Guru Mansyur. Nama beliau juga diabadikan sebagai nama jalan di
daerah ini, tempat di mana Pasar Mitra berada.
Paku
Jakarta dan Pakar Ilmu Falak
![]() |
Guru Mansyur |
Ridwan Saidi, budayawan
Betawi—yang sering muncul di televisi nasional—menyebut bahwa gelar “Guru” bagi
masyarakat Betawi memiliki kedudukan khusus karena guru punya ilmu yang luas.
Menurut Engkong Ridwan yang masih
memelihara rambut gondrongnya ini, masyarakat Betawi membagi pendakwah agama
Islam dalam tiga kategori yakni guru, mualim, dan ustadz.
Guru adalah ulama yang
mempunyai keahlian dalam suatu atau banyak disiplin ilmu, mempunyai otoritas
untuk mengeluarkan fatwa dan memiliki kemampuan mengajar kitab. Guru biasanya
mengabdi kepada umat di masjid atau madrasah yang ada di lingkungan tempat
tinggalnya. Mualim merupakan orang berilmu agama yang memiliki otoritas
mengajarkan kitab namun tidak bisa mengeluarkan fatwa. Sementara ustadz lebih fokus
mengajarkan pengetahuan dasar agama, seperti membaca Al Qur’an.
Dalam bukunya yang
berjudul “Profil Orang Betawi, Asal
Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadatnya” (diterbitkan oleh Gunara Kata
tahun 1997) disebutkan bahwa Guru Mansyur bersama Guru Mugni dari kampung
Kuningan disebut sebagai “Paku Jakarta”. Julukan ini berarti mereka berdua adalah panutan,
rujukan masyarakat Jakarta. Bahkan almarhum Gus Dur mengartikan gelar “paku
bumi” sebagai “wali pelindung” dalam artian berkat keberadaan beliau lah kota
Jakarta aman dari segala marabahaya dan bencana.
Lahir tahun 1878, Guru Mansyur
sejak kecil mendapat pendidikan langsung dari ayahandanya yaitu Imam Abdul Hamid bin Imam Muhammad Damiri bin
Imam Habib bin Abdul Mukhit. Dari ayahnya ini beliau memiliki garis keturunan
sampai kepada Pangeran Cakrajaya dan Pangeran Jayakarta. Adapun keturunan Guru
Mansyur yang terkenal sekarang adalah da’i nasional Ustadz Yusuf Mansyur.
Selain itu Guru Mansyur
muda juga berguru pada beberapa ulama masyhur Betawi seperti Haji Imam Mahbub,
Imam Tabrani dan Imam Mujtaba di Meester Cornelis (Sekarang Jatinegara, Jakarta
Timur). Nama terakhir ini dikenal dengan gelar Syaikhul Masyayikh yang artinya “dedengkot para ulama” karena
kedalaman ilmunya.
Beliau kemudian berangkat
ke Mekkah untuk memperdalam ilmu agama saat berusia 16 tahun. Empat tahun di tanah suci, beliau kembali ke
tanah air dan mengajar di madrasah orang tuanya. Beliau juga mengajar di Jami’atul Khair,
Pekojan. Di lembaga pendidikan yang didirikan oleh ulama Jakarta keturunan
Hadhramaut Yaman ini, beliau kenal lebih dekat dengan tokoh-tokoh pergerakan
Islam dalam perjuangan kemerdekaan. Di antara andil Guru Mansyur bersama para
tokoh Islam di Jakarta adalah mempertahankan Masjid Al Makmur Cikini dari
pembongkaran tahun 1925.
![]() |
Tulisan kaligrafi arab di dinding masjid, karya Guru Mansyur. Perhatikan tanda tangan beliau di pokok kanan bawah. |
Guru Mansyur terbilang
cukup produktif menghasilkan karya tulis agama Islam terutama yang dalam
disiplin ilmu falak (astronomi).
Semasa hidupnya, beliau adalah rujukan masyarakat Betawi dalam menentukan awal
Ramadhan dan hari raya Idul Fitri.
Hingga sekarang, ilmu falak
masih diajarkan di masjid ini. Salah satu santri asal Lampung yang saya temui
di pekarangan masjid menyebutkan bahwa tiap malam dan setelah shalat shubuh,
pengajian di sini selalu masih tetap berjalan.
“Saya sebenarnya nyantri
sama salah satu Habib di Condet. Tapi kalau akhir pekan saya sering ke sini
buat pengajian sekalian bantu-bantu pengurus masjid,” demikian ujar santri remaja
berkulit sawo matang itu sambil menyapu daun-daun yang berguguran.
Di antara kitab yang beliau tulis adalah:
- Kaifiyatul Amal Ijtima.
- Khusuf wal Kusuf.
- Tadzkirotun Nafi'ah.
- Mizartul I’tidal.
- Khulashotul Jadawil.
- Diroyatul Ulum wa Manzharatin Nujum.
- Wasiilah at Thullaab.
- Majmuu’ Khamsu Rasail.
- Jadwal Faraidh.
- Al lu'lu al Mankhum.
Simbol Perjuangan
Setelah Indonesia
memproklamirkan kemerdekaan, Belanda rupanya tidak rela begitu saja. Para
penjajah itu kembali ingin menancapkan kuku kolonialnya di republik ini.
Meski terkenal bijaksana,
Guru Mansyur bersikap keras dan tanpa kompromi terhadap Belanda. Suatu ketika
tahun 1948, Guru Mansyur dengan gagah berani mengibarkan bendera merah putih di
menara masjid tersebut. Mirip dengan aksi pengibaran bendera di hotel Yamato,
Surabaya.
Belanda pun murka. Tentara
NICA menyerbu dan menembaki kubah menara masjid. Belanda juga beberapa kali memanggil
Guru Mansyur ke Hoofdbureau atau
Kantor Polisi di Gambir, mempertanyakan tentang aksi ini.
Penjajah sadar pengaruh
besar Guru Mansyur terhadap perlawanan masyarakat Jakarta amat besar. Mereka berusaha
membujuk beliau agar bekerjasama dengan kolonial Belanda. Dengan tegas Guru
Mansyur menolak. “Islam tidak mau ditindas, saya enggak mau ngelonin
kebatilan”, demikian tandas beliau dihadapan perwakilan Belanda
yang mencoba merayunya dengan sejumlah uang.
Sebuah kisah heroik.
Membaca cerita ini, bulu kuduk saya merinding. Prihatin, mengingat dewasa ini
ada beberapa golongan di Indonesia yang menyebut pendirian negara Indonesia
tidak sesuai dengan syariat Islam. Padahal jika mereka menengok sejarah, justru
Republik Indonesia beserta sang saka merah putih adalah simbol perjuangan para
ulama melawan penjajah dan mempertahankan agama Islam!
Setelah tokoh yang selalu
menjaga shalat berjamaah ini wafat tanggal 12 mei 1967 dan dimakamkan di
belakang masjid. Masjid ini terdaftar sebagai bangunan cagar budaya berdasarkan
SK Mendikbud serta SK Gubernur DKI Tahun 1980. Pernyataan tersebut tertulis pada
papan warna putih di depan masjid, yang beberapa bagiannya sudah lapuk tergerus
panas-hujan.
Semoga kisah hidup dan
aksi heroik Guru Mansyur ini bisa menginspirasi kita, kaum muda yang mulai letoy berjuang.
Jakarta,
20 November 2015