Romantisme Pesantren dan Sepakbola
KH Hasan Abdullah Sahal (kanan), KH Amal Fathullah Zarkasyi (tengah) bersama Mesut Ozil. Foto: @rossyfaradisi |
Keberadaan Kiai Hasan dan rombongan di ibukota Inggris adalah dalam rangka education journey penandatanganan MoU antara Universitas Darussalam Gontor dengan beberapa perguruan tinggi di Britania. Tentu saja Kiai Hasan bersantap di rumah makan ini karena menunya yang terjamin halal bagi Muslim. Sedangkan Oezil yang keturunan Turki wajar bila menikmati kuliner warisan leluhurnya, apalagi ia bermain klub London Utara, Arsenal. Tinta takdir pun mempertemukan mereka.
Semasa muda, putra dari salah satu trio Kiai pendiri Pondok Gontor, KH Ahmad Sahal ini merupakan pemain handal. Ada kalanya beliau memimpin shalat Jum’at dengan syahdu, membakar semangat a la singa podium, atau mengayomi santri bak anak kandungnya. Kesemuanya menjadi pelengkap karakter beliau yang multidimensi.
Sewaktu saya berkesempatan mondok di Gontor medio 2003-2006, kami para santri sering melihat beliau ikut latihan bersama di lapangan bersama para santri. Memang kecepatan dan fisiknya tidak segarang dulu, tapi dari sentuhannya kelihatan ia adalah sosok berkemampuan tinggi. Penempatan posisi di kotak penalti juga ciamik.
Penulis sendiri pernah berada satu lapangan dengan beliau di arena futsal saat Kiai Hasan menghadiri salah satu event yang diadakan alumni Gontor, sekitar 6 tahun silam. Itu sewaktu saya sudah lulus dari pondok dan jadi mahasiswa tingkat akhir di salah satu universitas.
“Nanti kalau pak Kyai dapat bola, kita agak longgar mainnya, jangan terlalu serius,” demikian kami berbisik-bisik.
Kiai Hasan kami berikan kehormatan untuk melakukan sepak mula. Dalam hitungan detik beliau membagi bola ke area sayap dengan satu-dua sentuhan. Rekan yang ada di sayap kiri melakukan penetrasi melewati beberapa pemain lalu memberikan umpan tarik ke bibir kotak penalti. Entah bagaimana caranya Ustadz Hasan sudah ada di sana dan menghajar bola dengan tendangan keras menyusur tanah selayak Francesco Totti!
Jika komentator Iwan Sukmawan melihatnya pasti ia menjerit histeris, “gologologologoool… mamayo, Bung!”
Semua bersorak sorai. Para penonton berhambur ke lapangan. Sayang saat itu ponsel cerdas belum marak, hingga tidak ada yang mengabadikan momen magis tersebut dan mengunggahnya ke internet. Ada yang memeluk beliau, ada yang mencium tangannya, bahkan ada juga yang menggendongnya, tentu tanpa melupakan takzim ke beliau.
Setelah gol ajib itu, alumni Universitas Madinah dan Al Azhari ini keluar minta diganti. Sadar diri faktor memang usia tidak bisa bohong, tapi satu yang abadi: the class is permanent.
Sebelumnya, beredar pula di grup media sosial alumni Gontor foto beliau yang disandingkan dengan Cristiano Ronaldo saat menendang bola. Namun Kiai Hasan tampak tidak terlalu semringah.
“Saya gak suka Ronaldo. Saya termasuk (fans) Barca,” ujarnya dalam mukadimah ceramahnya pada suatu kesempatan dan disambut gelak hadirin.
Sebenarnya banyak ustadz lain di Gontor pemain sepakbola. KH Abdullah Syukri Zarkasyi, yang juga memimpin Gontor bersama Kiai Hasan tak kalah hebatnya. Sewaktu kuliah di Mesir tahun 70an ia adalah bagian dari “timnas” mahasiswa Indonesia di Asrama Madinatul Bu’uts, Universitas Al-Azhar Kairo.
Diceritakan pula bahwa ayah dari jurnalis Najwa Shihab ini adalah seorang bek handal yang sempat bergabung tim junior Zamalek, kesebelasan asal Kairo. Sebagai informasi, Zamalek bersama Al-Ahly adalah dua klub raksasa asal ibukota Mesir. Rivalitas keduanya tak kalah panas dari persaingan duo Spanyol, Barcelona dan Real Madrid. Mantan pemain klub berjuluk “Al Qal’ah Al Baydha atau Benteng Putih” ini antara lain Hazem Emam (pernah di Udinese dan 90an) dan Mido (Ajax).
Olahraga tak terpisahkan dari pendidikan
Olahraga memang mendapat porsi khusus di pesantren Gontor. Setiap sore lapangan riuh rendah oleh suara santri main bola, basket, tenis meja, bulutangkis, voli, silat, hingga senam gimnastik. Tak kalah riuh dengan mereka yang latihan berpidato bahasa asing atau menghafal pelajaran.
Setiap tahun berbagai kejuaraan diadakan baik antar asrama, kelas, klub hingga para ustadz. Saat pertandingan besar, misalnya uji tanding tim bola pondok dengan kesebelasan lokal, lapangan akan dilengkapi sound system tempat para komentator berbahasa Arab dan Inggris bercuap-cuap dengan gaya heboh seperti komentator Essam Shawaly asal Tunisia. Sesekali dengan ritme yang lebih tenang dibarengi analisa “sok tahu” layaknya duet Jon Champion dan Jim Beglin.
Televisi merupakan barang “haram” di sini. Kalau nekat mau nonton di rumah orang kampung sekitar misalnya, silakan saja asal siap dengan konsekuensi sanksi berat; digunduli, pemanggilan orang tua, skorsing hingga harus dikeluarkan dari pondok--jika ketahuan. Tapi ada beberapa momen ketika televisi “dihalalkan” untuk sementara.
Final kejuaraan sepakbola seperti Piala Dunia, Piala Eropa, dan Liga Champions adalah masa ketika televisi dihalalkan. Layar lebar pun dibentangkan di aula, pak kiai pun ikut nonton bareng di barisan paling depan. Saat pertandingan berakhir, adzan shubuh berkumandang. Kegiatan dan disiplin santri berjalan seperti sediakala.
Tujuan utamanya bukan untuk mencari prestasi, tapi bagian dari pendidikan membentuk karakter yang sportif, disiplin dan berjiwa besar (tahdzhib an-nufus). Oleh karena itu para olahragawan pondok yang kelewat lelah dan tertidur di kelas saat pelajaran akan mendapat hukuman yang sama. Dalam pekan perkenalan pada tahun ajaran baru, kiai sering mengulang-ulang motto pendidikan di pesantren:
- Berbudi Tinggi
- Berbadan Sehat
- Berpengetahuan luas
- Berpikiran Bebas
Tentunya tidak semua santri hobi olahraga dan menjadi anggota klub. Untuk menjaga kesehatan semua santri wajib ikut lari pagi dua kali dalam seminggu. Jarak tempuhnya beragam antara 1 hingga 3 km. Lari pagi ini juga menjadi ajang kompetisi antar asrama beradu kekompakan dan yel-yel seperti layaknya tentara ketika berlari bersama.
Cerita di atas tentu berdasarkan pengalaman penulis selama nyantri di Pesanten Gontor. Sepakbola di berbagai pesantren tentu berbeda-beda. Ada yang memiliki sistem pembinaan yang rapi, tidak jarang juga para santri bermain bola seadanya. Tanpa alas kaki dengan sarung dan peci yang masih melekat. Tapi semuanya dengan satu gairah sepakbola yang sama. Ah, tak lengkap pula jika bicara pesantren dan bola jika tidak menyebut Almarhum Gus Dur yang sering menulis kolom tentang sepakbola.
Tidak banyak yang tahu juga bahwa Jenderal Besar Sudirman adalah pemain bola ulung sewaktu jadi ustaz di sekolah Muhammadiyah. Karena dianggap paling memahami peraturan (laws of the game) dan punya ketegasan di antara rekan-rekan lainnya, Pak Dirman yang dijuluki Guru Kaji (Guru Haji) ini sering didaulat menjadi wasit. Fakta ini terungkap dalam biografi beliau yang diterbitkan oleh Majalah Tempo.
Keberhasilan Rafli Mursalim, alumni Liga Santri Nusantara menjadi bagian dari timnas U19 asuhan Indra Sjafri hanya secuil dari potensi sepakbola pesantren. Bakat-bakat yang juga dibarengi dengan karakter tangguh dengan akhlak dan disiplin inilah yang jadi kader yang hebat. Tidak hanya memajukan sepakbola, tapi memimpin bangsa Indonesia keluar dari keterpurukan.
Kiai kami pernah berpesan, “Jangan bosan jadi orang baik. Jadi ustadz, ustadz yang baik. Jadi pengusaha, pengusaha yang baik. Jadi pegawai, pegawai yang baik. Jadi polisi, polisi yang baik. Jadi Jaksa, jaksa yang baik.”
Jadi pemain bola pun, pemain bola yang baik. Bukan begitu Pak Kiai?
Tulisan ini pernah dimuat di situs Panditfootball.com dengan judul "Romantisme Pesantren dan Sepakbola" dan dengan beberapa perubahan.
14 Feb 2018
Posted by Yulian Ma'mun
Masjid Al Mansyur: Aksi Nekat di Atas Menara Demi Kemerdekaan
Masjid Al Mansyur dengan menara yang jadi saksi sejarah |
Dengan lihai saya
memiringkan badan ke kanan ke kiri. Pinggul pun kadang saya putar beberapa
puluh derajat agar bisa berkelit di antara gerombolan manusia yang lalu lalang.
Tak ketinggalan kerap kaki saya angkat sebelah guna hindari lindasan ban sepeda
motor yang tak punya mata itu.
Kawasan Pasar Mitra di
Jembatan Lima, Jakarta Barat ramai seperti biasanya. Sore ini, beberapa
pedagang kaki lima sudah mulai menggelar lapaknya, makin menambah kusut kondisi
jalan. Barisan mobil merayap pelan, mengular hampir satu kilometer panjangnya.
Asap dari knalpot
mengapung di udara membawa jutaan partikel karbon dan timbal. Zat berbahaya ini
kemudian masuk ke paru-paru dan membonceng darah ke setiap urat tubuh. Efek
buruknya memang tidak langsung terasa, tapi beberapa tahun kemudian jika asap
itu rutin masuk ke badan akan menurunkan daya tahan tubuh hingga kualitas
sperma!
Ibu-ibu di dalam angkot
warna biru muda tak peduli. Semua sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri
sambil mendekap sayuran yang menyembul dari kantong plastik warna hitam.
Sedangkan ibu-ibu yang lain duduk cekikikan di dalam mobil berpendingin udara
sambil gesit menekan layar telepon genggam. Tampaknya ada percakapan seru
dengan orang di seberang sana.
Lain lagi dengan para pengendara
motor yang melaju lincah mencari celah untuk lolos dari kepadatan ini. Karena
gaya mengemudinya yang sembrono, kendaaran beroda dua ini sering menyerempet
mobil pick-up yang sedang mengisi muatan di pinggir jalan. Maka, keluarlah
sumpah serapah dari sopir pick-up. Empunya motor tak peduli, dengan santai ia
melenggang seakan tak terjadi apa-apa.
Hampir saja saya limbung
di tengah kesemrawutan ini. Untung bau khas sayuran yang bertumpuk-tumpuk di
pelataran toko membawa aroma segar. Kontras dengan kondisi jalan yang sumpek.
Yang paling saya suka adalah bau bayam dan sawi yang diikat rapi dijejer
sedemikan rupa. Bongkahan tanah pun masih sedikit menempel di akarnya. Pasar ini
memang salah satu pusat sayur-mayur di Jakarta. Sayuran yang didatangkan dari
perkebunan di sekitar Jakarta menampilkan semarak warna-warni. Hijaunya sawi,
merahnya cabe dan tomat, putihnya bongkahan kubis, sampai ungunya terong.
Di keramaian yang riuh
rendah itu berdiri Masjid Jami Al Mansyur. Terletak di Jalan Sawah Lio, agak
tersembunyi dari jalan raya. Masjid ini hampir tidak punya pekarangan lagi
kecuali sepetak di bagian samping. Itupun sebagian besar dipakai sebagai
pemakaman, saung peristirahatan dan kebun tanaman obat.
22 Nov 2015
Posted by Yulian Ma'mun
Puasa Plastik
Emergency!
Darurat!
Sepertinya
tak ada lagi tempat untuk memperoleh makanan yang aman dari zat berbahaya.
Kabar adanya bakso, kikil, tahu, ikan asin dan kolang-kaling yang tercemar
formalin saja sudah bikin deg-degan. Sekarang beras, makanan mahapenting
bagi rakyat Indonesia sudah bercampur plastik! Jangan-jangan di masa depan semua
yang kita makan nanti terbuat dari plastik. Manusia pun tidak terdiri dari
darah dan daging, tapi setengah robot seperti Arnold Schwarzenegger dalam film
Terminator.
Hasil
laboratorium menunjukkan bahwa beras yang dilaporkan oleh seorang ibu dari
Bekasi, Jawa Barat positif mengandung plastik PVC. Jenis plastik ini kuat dan
elastis, digunakan untuk membikin pipa ledeng.
28 Jun 2015
Posted by Yulian Ma'mun
Ramadhan Pertama
Ramadhan Pertama
Ini sahur pertamaku,
Ketika pagi masih teramat buta
Gerlap gumintang saling sahut
Menemani di antara sunyi
Isi ceruk lambung dengan gumpalan berkah
Ini puasa pertamaku,
Menelusuri liku lapar dahaga
Genggam kendali kelima indra
Ini tarawih pertamaku,
O, alangkah syahdu tilawah sang imam
Melafal kalam Penguasa alam
Aku pun di sana
Berada di antara shaf-shaf surgawi
Mengharu malam
Memetik berbaris ampunan dari langit bermalaikat
Menuai rahmat dari sujud ke sujud
Ini Ramadhan pertamaku,
Ditemani desau angin bulan September aku
Mencari secercah petunjuk
Merintis penciptaan diri yang baru
***
Cuaca panas dan kering.
Kemeriahan Ramadhan kota Cairo membuat saya melupakan bahwa saya terasing di sebuah di bagian utara benua Afrika. Di bantaran sungai Nil, semua menyambut dengan suka cita bulan berkah ini.
Suara imam yang syahdu mengudara dari masjid-masjid yang gemerlap. Entah kenapa orang Arab yang biasanya susah diatur dan keras kepala menjadi ramah bukan kepalang. Jutaan kasih sayang memantul di antara dinding apartemen-apartemen berdebu.
Saya yakin, saat itu para malaikat sedang menjinjing rahmat dari istana surgawi.
Puisi ini saya tulis saat saya sedang bergaul dengan teman-teman penggiat sastra. Mungkin saat itu malaikat sedang menepuk jidat saya dengan percikan ilham.
Teman saya Mas Eka Tanjung yang merupakan penyiar radio Indonesia di Amsterdam membacakan puisi ini saat siaran.
Design: Sampul Pedoman Manajemen Resiko
Desain ini menggunakan desain kotak berwarna-warni yang terletak secara ketupat. Gambar itu merepresentasikan sebuah kubus rubik, mainan teka-teki mekanis yang sedang digandrungi anak muda (dan dewasa). Filosofinya adalah sebagai simbol aneka resiko yang timbul dalam kegiatan perusahaan. Apabila ditangani dengan baik, maka akan menimbulkan pola yang indah di mata.
Begitulah. Galih yang meminta saya secara khusus mendesain untuk buku pedoman yang disusunnya itu manggut-manggut. Sepertinya dia mengerti maksud saya.
Begitulah. Galih yang meminta saya secara khusus mendesain untuk buku pedoman yang disusunnya itu manggut-manggut. Sepertinya dia mengerti maksud saya.
Kacamata Macan
Selepas menyantap nasi kotak sesudah
pengajian, kami berlima duduk lesehan di lantai ruang pertemuan lantai 4.
Ruangan ini multi fungsi karena juga dipakai sebagai tempat shalat berjamaah.
Serta merta Pak Edi mengeluarkan kotak
kacamata dari sakunya. Sebuah kacamata baca yang sering jadi bahan candaan kami
karena motifnya yang unik. Bingkai kacamata itu bermotif belang macan! Bahkan kotaknya
yang terbuat dari kulit sintetis pun loreng-loreng.
“Motif macan itu seperti bikinan desainer
terkenal lho Pak. Cocok sama selera Ivan Gunawan,” seloroh saya menyebut nama desainer
yang sering nongol di TV itu. Ivan memang terkenal dengan karya-karya fashion
yang eksentrik.
Kartu Pos Tiba di Seberang
“Hello Yulian,
I received your beautiful postcard. Thank you very much!
My best wishes to you
Holger”
I received your beautiful postcard. Thank you very much!
My best wishes to you
Holger”
Kartu pos pertama saya di komunitas Postcrossing telah tiba di Jerman. Pagi tadi saya menerima email pemberitahuan bahwa kiriman saya sudah sampai. Kartu pos yang saya kirim berasal dari Museum Bank Indonesia yang menampilkan ruang pamer museum yang terletak di Jakarta tersebut.
Kartu pos ini menempuh jarak antar 2 benua sejauh 11.019 km selama 32 hari.