Posted by : Yulian Ma'mun 6 Jan 2014

 
Tiga bulan lalu saya naik taksi menuju Slipi dari Kebayoran Lama. Waktu itu sudah larut malam, saya dapat tugas menyerahkan berkas ke Pak Komisaris yang sudah menunggu di sebuah hotel bintang lima di sana.

“Tau gak kepanjangan ciledug?”

“Emang ada kepanjangannya pak?” ada-ada saja pak sopir ini. Setahu saya, Ciledug adalah nama salah satu kecamatan padat penduduk di Tangerang. Meski hanya seluas 8 km persegi, penduduknya mencapai 90 ribu!

“Cileduk itu artinya, Cinta Lewat Dukun...”

“Hahaha,” kami tertawa bersama.

Masih banyak kendaraan lalu lalang. Kalau di kampung halaman saya di Banjarmasin, jam segini jalanan sudah sepi.

“Bapak orang Betawi ya?” coba saya menebak dari logat bicaranya.

“Benar dik…. Orang Betawi mah jarang yang pergi merantau. Terkenal jago kandang. Ya seperti saya ini, dulu saya masih kecil tinggal di Kebon Kacang, sekarang di Ciledug. Namanya juga Betawi, singkatan dari Betah Jaga Wilayah…. Dulu Jakarta gak seramai sekarang, sekarang banyak pendatang, banyak premannya. Yah, namanya Jakarta; Jambret Ada, Koruptor Ada, Rampok pun Tentu Ada”

Belum reda tawa saya, pak sopir nyerocos lagi.

“Karena suka lalapan, makanya orang Sunda artinya Suka Makan Daun. Suku Jawa artinya lain lagi; Jago Wayang,”

Kali ini saya tidak bisa mengendalikan diri. Perut saya serasa kram karena tertawa. Untung saja jendela mobil tertutup rapat, kalau tidak mungkin orang-orang di luar akan menganggap saya punya kelainan jiwa. Kalau orang Melayu zaman dulu terkenal dengan kemampuan merangkai pantun dalam hitungan detik,  nah, pak sopir ini punya keahlian bikin singkatan plus kepanjangannya.

“Coba tebak dik, umur saya berapa?” sekonyong-konyong pak sopir mengeluarkan tebakan.

“40 tahun kayaknya…”

“Salah! Umur saya 55 tahun,” jawabnya pasti.

“Yang bener pak? Kayaknya bapak masih muda deh,”

“Nah itulah, saya juga heran. Mungkin karena saya kebanyakan bercanda kali ya…. Hahaha.. Padahal Anak saya ada 6 lho, 5 cowok 1 cewek. Cucu sudah 2,”

“Kok bisa awet muda Pak? Bagi rahasianya dong…”

“Kuncinya meskipun banyak masalah, jangan cemberut. Banyakin senyum. Orang suka cemberut cepat tua, hahaha…

“Anak saya sudah gede, yang sulung kerja di Ericsson, untuk wilayah Amerika Utara, ngantornya di Meksiko,”

“Wuih… keren banget,” saya berdecak. Walau Ericsson sudah menjual semua saham divisi produksi ponselnya ke Sony, perusahaan asal Swedia ini tetap raksasa telekomunikasi dunia. Jaringan komunikasi telepon, ponsel dan internet sejagat masih menggunakan banyak perangkat bikinan korporasi yang sudah berdiri sejak 1876 ini.

“Adik-adiknya sampai yang nomor 4, kerja di telekomunikasi semua. Saya juga heran, mungkin terinspirasi abangnya. Kalo yang dua sisanya, masih sekolah. Alhamdulillah biayanya sudah ditanggung kakak-kakaknya,”

“Kok anak bapak bisa pada sukses gitu, rahasianya apa Pak?” bapak ini rupanya menyimpan banyak rahasia.

“Gak ada rahasia kok dek, yang penting kita sebagai orang tua mah, kudu kering mendoakan anak-anak kita biar baik. Biar kata tuh anak gak nurut, nyebelin, jangan pernah ngucapin doa yang jelek,”

Dan doa tulus pak sopir pun berbuah manis.

***
Entah mengapa, mungkin sudah jadi rahasia Tuhan, bahwa doa orang tua kepada anaknya punya peluang besar untuk terkabul. Kalau doa itu baik, Insyaallah kabul menjadi baik, nah kalau doanya mengandung keburukan (takutnya) terkabul juga.

Kita tentu pernah mendengar legenda Malin Kundang dari Sumatera Barat. Karena Malin ini durhaka, maka ibundanya mendoakannya jadi batu. Dalam sekejap, Malin beserta kapal yang ditumpanginya jadi batu. Meski itu hanya legenda yang belum diketahui kebenarannya, kalau benar terjadi saya yakin ibunda Malin pasti menyesal sudah mengutuk anaknya. Nasi sudah jadi bubur, Malin tetap jadi batu.

Saya pernah mendengar orang tua (mungkin saking marahnya) mengumpat kepada anaknya, “Dasar anak –maaf—hantu! Tidak tahu untung!” Lha, kalau itu anak hantu, berarti ortu yang mengumpat tadi adalah hantunya hehe....

Amarah orang tua yang sedemikan rupa hingga mengeluarkan kutukan, bukan 100% karena mereka punya tingkat emosi tinggi. Kita sebagai anak juga harus instropeksi diri, jangan sampai membuat orang tua kesal. Ayah yang pemarah, ibu yang cerewet memang kerap bikin jengkel, ini dilarang, itu tidak boleh. Kalau direnungkan, toh perintah dan larangan itu untuk kebaikan kita kenapa dilawan. Kalaupun itu tidak baik buat kita, bicarakanlah baik-baik dan tidak perlu durhaka.

Semenjak kita lahir, berapa juta permintaan kita yang sudah orang tua kabulkan. Sekarang giliran kita, berbakti beberapa hal (saja) untuk mereka. Siapa tahu berkat doa yang baik dari orang tua, kita bisa menyusul putra sulung pak Sopir, jalan-jalan ke Meksiko atau lebih beruntung dari itu. J

Ciputat, 25 Desember 2013.
Ditulis untuk memperingati hari ibu dua hari yang lalu. Selamat hari ibu (dan bapak juga).

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Label

catatan harian (11) Jakarta (3) sejarah (3) travel (3) akhlak (2) desain (2) etika (2) lifestyle (2) moral (2) ramadhan (2) wisata (2) KH Hasan Abdullah Sahal (1) about me (1) anak (1) batuk (1) betawi (1) brand (1) doa (1) fashion (1) film (1) foto (1) gontor (1) guru mansyur (1) kartu pos (1) kesehatan (1) kucing (1) lagu (1) merdeka (1) museum (1) musik (1) pejuang (1) pesantren (1) pria (1) puasa (1) puisi (1) sepakbola (1)
Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © Memoar Seorang Kisanak -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -