Posted by : Yulian Ma'mun 21 Mar 2015

Sambil membetulkan letak kacamatanya yang melorot di atas hidung, Pak Dokter menyuruh saya membuka mulut lebar-lebar sambil menjulurkan lidah. Dokter keturunan Tionghoa ini tetap ramping di usianya yang sudah 50 tahunan. Rambut lurusnya disisir belah pinggir ala Jackie Chan dalam film Spy Next Door.


Rongga mulut dan tenggorokan saya disorot dengan senter kecil yang selalu siap di sakunya. Selama beberapa detik saya berusaha untuk tidak menghembus nafas lewat mulut. Bisa gawat kalau Pak Dokter keracunan gas berbahaya dari mulut saya. Padahal sebelum berangkat saya sudah sempatkan menyikat gigi. Ditambah pula berkumur dengan cairan mouthwash berwarna hijau toska. Namun saya masih belum terlalu yakin kalau sisa-sisa petai bekas makan siang tadi, sudah tuntas dari sela-sela gigi saya.



Sebenarnya saya menghindari dokter sebisa mungkin. Selama seminggu ini saya berusaha meredakan batuk dengan obat warung dan ramuan herbal berupa parutan kencur dicampur garam. Entah karena obatnya tidak cocok atau cuaca dingin musim hujan yang tidak mendukung penyembuhan, batuk saya semakin parah. Saya jadi susah tidur di malam hari. Akibatnya, seminggu ini saya datang ke kantor pagi-pagi dengan mata merah dan badan loyo.



Sebenarnya batuk bukanlah penyakit. Ia merupakan mekanisme pertahanan saluran pernapasan terhadap iritasi di tenggorokan. Iritasi ini bisa dikarenakan benda asing, makanan, lendir, debu, asap dan sebagainya. Jadi, tubuh secara spontan mengeluarkan benda asing yang dianggap mengganggu. Dalam kasus yang saya alami, penyakit radang tenggorokanlah yang membuat saya batuk sejadi-jadinya.



Prosedur pemeriksaan selesai. Saya divonis menderita infeksi tenggorokan. Ada bakteri yang membuat peradangan hingga saya sering batuk. Dokterpun memberikan secarik kertas berisi coretan mirip cacing kelojotan yang hanya bisa dipahami petugas apotek.



Resep ini saya tukar di apotek dengan sepaket obat. Salah satunya adalah tablet berwarna putih bernama spyramycin (baca: spiramisin). Keterangan di bungkusnya menyebut bahwa obat ini adalah antibiotik penghambat sintesa protein bakteri. Saya tidak begitu mengerti, tapi layaknya obat antibiotik lain sepertinya ia mempunyai kemampuan menghambat pertumbuhan atau menghancurkan bakteri dan berbagai mikroorganisme. Sakit tenggorokan saya berangsur pulih, batuk pun sudah mereda. Tapi sebuah kecerobohan membuat saya tertidur di bawah guyuran AC sedingin 19 derajat celcius. Begitu bangun pagi, batuk itu menerjang lagi.



Saya malu untuk kembali ke dokter karena melanggar larangannya untuk menghindari udara dingin. Di samping itu saya ingin menghindari untuk mengenggak zat kimia lagi. Salah satu label peringatan di bungkus spyramycin sudah jelas: pemakaian jangka panjang bisa membuat kerusakan hati atau hepatotoksis.



Obat dari dokter sudah habis, tapi tanda-tanda penyembuhan belum terlihat. Hari-hari berikutnya saya hanya memperbanyak minum air hangat. Sampai-sampai tak terhitung berapa kali saya ke buang air kecil dalam sehari. Sebelum tidur saya olesi leher saya dengan minyak angin yang hangat dan membebatnya dengan kain selendang. Keseharian pun kerap memakai masker, takut orang-orang terdekat saya tertular. Jadinya saya lebih mirip asisten dokter bedah di depan meja operasi atau petugas penyemprot nyamuk dari dinas kesehatan.



Selain itu saya mencoba pengobatan alternatif berupa bekam. Begitu punggung saya disedot, keluarlah darah kotor yang kental seperti agar-agar. Tinggal ditambah es dan susu jadilah es cendol.


Makanan yang bisa merangsang batuk seperti gorengan dan minuman es saya jauhi. Inilah ujian sesungguhnya: menahan diri dari makanan-makanan lezat. Melihat orang mengunyah tahu isi atau martabak ditemani cengek hijau, saya hanya bisa meneguk liur.



Memang farmasi dan dokter mengobati, tapi Tuhanlah yang menyembuhkan. Sakit adalah peringatan Tuhan untuk hambanya agar memperhatikan kesehatan dan jatah istirahat tubuh. Jika seorang hamba sabar menghadapi penyakit, itu akan meluruhkan dosa-dosanya. Saat sakit, terasa betul begitu berharganya kesehatan. “Manfaatkan masa sehatmu sebelum datang masa sakit,” demikian pesan Nabi Muhammad yang mulia.



Dan akhirnya,



Batuk saya reda setelah hampir sebulan, artinya radang di tenggorokan saya sudah jinak. Sepulang shalat Jum’at, dengan mantap saya menuju gerobak es dawet di bawah pohon mangga. Di sana kawan-kawan saya sudah terlebih dulu duduk menyantap bakso atau batagor. Tapi fokus saya cuma satu, bisa bisa minum es lagi. Alhamdulillah, segar… dan mudah-mudahan Allah mengampuni dosa-dosa saya.



Jakarta, 21 Maret 2015.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Label

catatan harian (11) Jakarta (3) sejarah (3) travel (3) akhlak (2) desain (2) etika (2) lifestyle (2) moral (2) ramadhan (2) wisata (2) KH Hasan Abdullah Sahal (1) about me (1) anak (1) batuk (1) betawi (1) brand (1) doa (1) fashion (1) film (1) foto (1) gontor (1) guru mansyur (1) kartu pos (1) kesehatan (1) kucing (1) lagu (1) merdeka (1) museum (1) musik (1) pejuang (1) pesantren (1) pria (1) puasa (1) puisi (1) sepakbola (1)
Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © Memoar Seorang Kisanak -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -