Posted by : Yulian Ma'mun 16 Mar 2015



Status gedung putih berpilar enam tiang klasik di teras utamanya ini tidak main-main: Museum Nasional. Dengan kata lain gedung yang terletak di Jalan Merdeka Barat, tepat di seberang Monas tidak jauh dari Istana Negara ini adalah museum utama negara Indonesia. Dialah yang menyimpan koleksi sejarah peradaban negeri ini. Derajatnya setara dengan Rijksmuseum Amsterdam, Museum Nasional Tokyo, Louvre di Prancis atau Cairo Museum empunya mumi Fir’aun.

Museum Nasional Republik Indonesia (selanjutnya disebut Mu-Nas) janganlah ditanding dengan Louvre yang jadi latar belakang kisah novel the Da Vinci Code. Museum di jantung negeri Prancis ini adalah museum paling banyak pengunjungnya di dunia yaitu 9 juta orang per tahun! Ia memuat mahakarya adiluhung para maestro seperti Leonardo da Vinci, Michelangelo, Velázquez, Eugene Delacroix dan para sinuhun lainnya. Sistem keamanannya ultraketat. Konon seekor lalat pun harus pikir-pikir dulu untuk sekadar menghinggapi lukisan Mona Lisa yang ada di dalamnya.

Sedangkan Mu-Nas sempat kehilangan koleksinya baru-baru ini. Tepatnya bulan September 2013 silam, empat artefak emas purbakala raib dicoleng maling. Belum jelas siapa pelakunya, tapi pihak berwajib mencurigai ada oknum orang dalam museum yang terhubung dengan penadah barang antik curian. 

Saya tidak mengatakan martabat Mu-Nas di bawah museum-museum top tersebut. Mu-Nas juga hebat di levelnya sendiri, setidaknya di hati saya. Memang harus diakui secara fasilitas museum kita makin  ketinggalan. Akan tetapi lihatlah kekayaan koleksinya yang menunjukkan kehebatan bangsa kita. Sejarah bangsa ini begitu agung, bahkan sebelum Republik ini merdeka tahun 1945.

Ruang Pamer
Museum ini dibangun tahun 1862 untuk menampung koleksi milik Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Perkumpulan Seni dan Ilmu Pengetahuan Batavia). Organisasi ini melakukan banyak penelitian ilmiah di Hindia Belanda sejak 1778. Benda bersejarah yang tidak diangkut ke Belanda, disimpan di sini.

Sebuah patung gajah berbahan perunggu bercokol di halaman depan museum. Benda ini adalah hadiah dari Raja Chulalongkorn dari Thailand tahun 1871. Oleh sebab itu, warga Jakarta juga menyebut Mu-Nas dengan julukan museum gajah.

Museum ini menyimpan 140.000 koleksi dan hanya sepertiganya yang ditampilkan kepada masyarakat umum. Peninggalan itu disimpan dalam Gedung Utama dan Gedung Arca. Penamaan gedung baru dengan “Gedung Arca” ini sedikit aneh sebab mayoritas arca justru ada di Gedung Utama.

Gedung utama terbagi ke beberapa kategori: taman arca, prasasti, ruang  tekstil, perunggu, keramik, etnografi (suku bangsa di Indonesia dan budayanya), rumah adat dan pra-sejarah. Adapun di gedung baru penyusunan tata pamer lebih modern berdasar kerangka unsur-unsur kebudayaan. Berurut dari lantai dasar hingga lantai 4: manusia dan lingkungan, ilmu pengetahuan teknologi dan ekonomi, sosial dan pemukiman serta khazanah emas dan keramik.              

Begitu masuk lewat loket tiket, barisan arca setinggi 30-150 cm yang memendarkan hawa mistis menyambut kita. Tatapan mata arca-arca itu sekilas tampak kosong. Tapi jika kita pelototi lebih lama, seakan hendak menuturkan cinta dan kesetiaan para pemujanya.

Pemimpin pasukan arca ini adalah patung Bhairawa setinggi 4 meter yang menakutkan. Bocah penakut yang baru masuk SD dijamin susah tidur semalaman membayangkan sosok dari abad ke-13 ini. Wujudnya adalah seorang lelaki yang berdiri di atas mayat dan tumpukan tengkorak. Tangan kanannya menggenggam belati, sedang tangan satunya memegang batok tengkorak. Jelas ia adalah simbol pemusnahan dan pembinasaan, sesuai dengan karakter dewa Siwa.
Koleksi emas kerajaan nusantara. Foto dari brosur karena tidak boleh foto di dalam ruangan pamer.

Ruang paling menarik menurut saya ada di lantai empat Gedung Arca. Benda penting di sini adalah pusaka kerajaan di nusantara dari abad 16-20 M. Pusaka-pusaka dari emas ini ada yang didapat sebagai hadiah dari para raja, ada juga yang dirampas lewat ekspedisi militer. Setelah menaklukkan suatu wilayah, biasanya benda-benda pusaka yang dianggap berharga dibawa ke Batavia atau museum-museum di Belanda sebagai rampasan perang.

Contoh koleksi di sini adalah mahkota emas Sultan Banten, kipas emas milik Sultan Lingga Riau dan pedang panglima dari Banjar. Koleksi paling emosional bagi saya adalah pusaka dari Bali yang disandingkan dengan foto hitam-putih sang raja yang akhirnya gugur dalam puputan. Puputan adalah perang sampai titik darah penghabisan guna membela tanah air sesuai tradisi Pulau Dewata.

Melihat koleksi Mu-Nas yang mengagumkan ini saya terbayang film the Night at the Museum (2006). Dalam film itu, aktor kawakan Ben Stiller berperan sebagai satpam American Museum of Natural History di New York yang dapat giliran jaga malam. Sebuah keajaiban membuat benda-benda di museum itu hidup. Maka fosil dinosaurus dan segala hewan, patung lilin tokoh terkenal dan koleksi lainnya jadi makhluk bernyawa. Tapi mukjizat itu hanya berlaku malam hari. Begitu mentari terbit, mereka kembali seperti semula. 

Andai arca-arca di Mu-Nas ikutan hidup saat malam datang, tak bisa dibayangkan kacaunya. Saya khawatir jika patung Bhairawa bakal meloloskan diri keluar museum, lalu memanjat tugu Monas di seberang jalan. Lebih gawat lagi jika ia menyambangi Bapak Presiden di istana Negara!

Arca Bhairawa


Jakarta, 15 Maret 2015

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Label

catatan harian (11) Jakarta (3) sejarah (3) travel (3) akhlak (2) desain (2) etika (2) lifestyle (2) moral (2) ramadhan (2) wisata (2) KH Hasan Abdullah Sahal (1) about me (1) anak (1) batuk (1) betawi (1) brand (1) doa (1) fashion (1) film (1) foto (1) gontor (1) guru mansyur (1) kartu pos (1) kesehatan (1) kucing (1) lagu (1) merdeka (1) museum (1) musik (1) pejuang (1) pesantren (1) pria (1) puasa (1) puisi (1) sepakbola (1)
Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © Memoar Seorang Kisanak -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -