Posted by : Yulian Ma'mun 25 Feb 2014


Konon makhluk hidup penghuni Republik Indonesia terbanyak setelah manusia adalah kucing. Memang kucing adalah mamalia yang punya kedekatan ‘khusus’ dengan manusia. Banyak orang memelihara kucing rumahan berbulu indah hasil persilangan beberapa jenis spesies kucing. Harganya pun cukup mahal. Belum lagi makanannya yang khusus dibeli di toko serba ada tertentu. Kalau si meong—panggilan mesra kucing—jatuh sakit, si empunya membawanya ke dokter spesialis hewan.

Kucing liar yang hidup menggelandang jauh lebih banyak lagi jumlahnya. Mereka hidup di jalan, pasar atau pemukiman penduduk menyelinap dari rumah ke rumah mencari makan. Kucing jenis ini sering masuk warung atau rumah tanpa uluk salam, tanpa permisi. Saat orang-orang dari berbagai latar belakang profesi menyantap makan siang di warung tegal yang pengap, kucing dengan manja mengeong lalu menggesekkan bulunya berharap dibagi sisa makanan atau seledar potongan tulang.

Bahkan di kota besar seperti Jakarta, keberadaan kucing liar sepeti hama yang mengganggu. Perkembang-biakan mereka tak terkendali karena masa hamil yang singkat yaitu kurang lebih 9 minggu. Dalam setahun kucing betina bisa hamil 2-3 kali dan sekali melahirkan 2-5 anak.

Bagi ibu-ibu, kucing liar adalah makhluk yang menjengkelkan. Tragedi yang paling ditakuti adalah bila mereka mencuri ikan yang ditaruh di dapur. Kalau sudah begitu, kucing akan dikejar bahkan dilempari dengan panci atau perkakas dapur lain. Malangnya, dendam kesumat itu tak terbalaskan karena kucing lebih lincah berlari di jendela atau lubang yang sempit. Selamatlah kucing sambil mengibarkan panji kemenangan atas manusia.


Kami penghuni asrama Kalsel di Ciputat juga dipusingkan oleh kucing. Bukan karena ikan kami sering di curi, tapi karena si meong sering buang air besar sembarangan! Yang paling sering jadi korban adalah karpet di ruang tamu dan musholla. Di asrama ini memang tidak ada tanah yang bisa digali karena pekarangan kami ditutup dengan batako. Kalaupun ada sepetak tanah itupun sudah mengeras. Padahal sifat alamiah kucing adalah mengubur kotorannya sendiri di dalam tanah / pasir. Dengan dikubur, kucing bisa memastikan bahwa keberadaannya di tempat itu tidak diketahui oleh kucing lain yang dominan di sana. Selain dengan tinja, kucing juga menandai wilayahnya dengan spraying atau pipis di tempat tertentu. Aroma air seni kucing yang semriwing seolah peringatan bagi kucing lain: “jangan coba-coba masuk wilayah gue!”. Andai kebetulan kucing penguasa di tempat itu mengetahui keberadaannya, maka perkelahian pun sering terjadi.

Bukan maksud kami memelihara hewan berkaki empat tersebut. Berkali-kali kucing yang nyantol ke sini dibuang jauh-jauh ke Pasar Ciputat atau tempat lainnya minimal sejauh radius 2 km. Namun apa daya, setiap kali ada yang disingkirkan, datang lagi kucing yang baru. Selain cara kekerasan, cara baik-baik pun pernah kami tempuh, kami ajak ngobrol dari hati ke hati. Sayangnya, meski mulut kami berbuih-buih, tetap saja kucing itu tak mengerti apa yang kami omongkan.

Lebih apes jika yang datang adalah kucing betina dewasa, dijamin keberadaannya akan mengundang pejantan lain. Si betina hanya akan menjadi pelampiasan hasrat si jantan dan setelah itu betina ditinggalkan sendiri, dibiarkan hamil dan melahirkan anaknya. Jantan tak bertanggungjawab.

***

Suatu sore, saya dan kawan-kawan yang baru selesai bermain futsal duduk-duduk di teras tengah asrama. (Demi menjaga tata krama, tinja kucing yang sering disebut tah* kucing akan saya singkat dengan sebutan TK).

“Makin lama kucing-kucing ini makin menggila…! Buang TK di mana-mana… sampai remote TV jadi korban. Hii…” Soleh angkat bicara sambil bergidik jijik.

“Padahal sudah ane sudah sering banting-banting tuh kucing, tapi gak kapok juga. Minggu kemarin ane buang ke pasar Ciputat, eh ada kucing baru lagi,” Rizal menunjuk dua kucing kecil yang sedang ngaso di bawah pohon pinang. Satu berwarna kuning kecoklatan, satu lagi abu-abu.

“Hmm… jangan-jangan banyaknya kucing buang air sembarangan gara-gara kita sering mengumpat pake kata ‘TK’,” ujar Amat sambil menerawang.

Dan di negara ini kata “TK” sudah lumrah dipakai untuk mengumpat, contoh:

“Dasar TK tuh orang, gue kesel banget!”

“Jadi selama ini si Fulan cuma ngincer harta doang, TK!”

“TK! Gue ketahuan bolos lagi!” dan lain sebagainya.

Soleh menyahut sembari nyengir, “Bisa jadi Bro, ane juga sering bilang TK, apalagi kalo marah. Susah juga dihilangin, sudah jadi kebiasaan sih, hehe...”

“Boleh jadi tuh, setiap ucapan bisa jadi sebuah doa. Nah, kalau kita sering ngucapin TK, akhirnya Tuhan mengabulkan doa kita dengan banyaknya kucing yang ngeluarin TK di tempat ini,” kata Rizal.

“Tumben ente bijak gitu Zal,” saya yang dari tadi diam menimpali.

“Ayo kita coba ubah kata TK jadi ‘emas’ atau ‘duit’ misalnya. Siapa tau Allah menurunkan duit yang banyak buat kita hehehe…” Rizal disambut gelak tawa kami semua.

Bicara kata-kata kotor, selain dilarang agama juga tidak sesuai norma. Sayangnya contoh yang kurang baik berkeliaran di sekitar kita. Anak-anak yang mendengar ucapan kotor orang tuanya, menyimpan hal tersebut dalam memorinya. Suatu saat ketika dia beranjak dewasa akan meniru hal itu. Berkata kotor hanya menunjukkan bahwa orang yang mengucapkannya tidak punya harga dan nilai. Kata-kata buruk tersebut justru menunjukkan keburukan hatinya dan kerendahan martabatnya, demikian kata Mario Teguh. Tidak salah kalau Nabi Muhammad saw bersabda, “Berkatalah yang baik-baik atau diam saja!”

Selama seminggu kami mencoba mengganti umpatan TK jadi kata-kata yang lebih baik. Misalnya saat menonton sepakbola Liga Spanyol, melihat penyerang Real Madrid, Benzema yang gagal menceploskan bola ke gawang, Soleh ngomel-ngomel.

“Dasar TK Benzema nih, gak bisa ngegolin!”

“Ssst…” Rizal yang kebetulan juga ada di depan TV mengingatkan.

“O iya, dasar 'bahagia' nih Benzema. Peluang gitu aja ga bisa gol,” Soleh buru-buru meralat ucapannya.

“Dasar 'cinta' nih Ramos, pelanggaran keras gak perlu sampai kartu kuning segala, 'emas'... 'intan'... 'berlian'...” berikutnya saat Sergio Ramos sampai diperingatkan oleh wasit.

Dalam hati saya mengamini, semoga banyak kebahagiaan, cinta dan segala sesuatu yang baik selalu menyertai kita semua.


Ciputat, 25 Februari 2014.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Label

catatan harian (11) Jakarta (3) sejarah (3) travel (3) akhlak (2) desain (2) etika (2) lifestyle (2) moral (2) ramadhan (2) wisata (2) KH Hasan Abdullah Sahal (1) about me (1) anak (1) batuk (1) betawi (1) brand (1) doa (1) fashion (1) film (1) foto (1) gontor (1) guru mansyur (1) kartu pos (1) kesehatan (1) kucing (1) lagu (1) merdeka (1) museum (1) musik (1) pejuang (1) pesantren (1) pria (1) puasa (1) puisi (1) sepakbola (1)
Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © Memoar Seorang Kisanak -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -